Salah Pilih Juri



Dalam kehidupan kita sehari-hari, pasti tak akan lepas dari yang namanya penjurian. Setiap penampilan, pemikiran dan tindakan kita pasti akan dinilai. Selurus apapun rambut kita tetap saja aka nada yang bilang “itu rambut apa sapu plastik” sementara si kribo akan ditanggapi “sarang burung kok taro di kepala om?”. Yang langsing dikatain cungkrik yang bongsor dibilan dam truk. Yang berjubah dituduh teroris, sementara yang pake minim malah dibilang modis.

Inilah kenyataan hidup yang tak hanya jadi panggung sandiwara tapi juga ring pertandingan. Seakan saat kita lahir orang-orang dewasa berkata dalam hati mereka “selamat datang di pertandingan nak”. Dan para orang tua secara tak sadar telah menjadi juri pertama kita dalam pertandingan hidup ini. Yang maunya mengatur seluruh kehidupan kita dari A sampai Z.  Setelah gua mencoba meratapi dan meresapi segala lika-liku dan perihnya hidup ini, otak gua yang katanya (baca: kata gua) cerdas ini mulai melihat ada keanehan disini.

Entah kenapa mayoritas umat manusia saat ini mulai dari yang masih kecebong sampai katak berkaki empat, begitu percaya biji-nya (baca percaya diri) berperan sebagai juri. Menilai orang lain bahkan sampai menghakimi. Padahal apa hak mereka? Bukannya kita sama-sama berada dalam suatu pertandingan kehidupan dimana dunia ini adalah ring-nya.

Itu artinya kita semua adalah peserta lomba. Kan gak masuk akal kalau ada peserta lain yang menjadi juri kita?. Namun dalam tulisan kali ini , bukan orang yang suka menghakimi yang mau gua garis bawahi melainkan orang yang suka dihakimi.Emangnya ada gitu orang yang suka dihakimi? Jangan salah, ketika banyak yang berceloteh “siapa sih yang mau dihakimi?”  justru disisi lain dia malah terpaku pada penilaian orang lain terhadap dirinya. Itu sama artinya dia mau dihakimi bukan?
Coba perhatikan betapa banyak orang yang tidak mau ketinggalan zaman  dalam bergaya. Orang-orang ini begitu ketakutan akan dikatai kuper, kolot, kumuh, nde, dll. Mereka percaya bahwa yang dipakai artis-artis adalah pakaian terbaik. Belum lagi ada tipe orang yang sangat berpusat pada penilaian orang lain. Kalau dikatai jelek, dia ngambek saat diputusin gadis, tangannya di garis. Kalau temen-temennya bilang tato itu keren eh seluruh tubuhnya dimasukin ke mesin print.

Yang sampe sekarang gua mumet nih masalah LGBT. Gua heran ada aja orang yang berusaha melegalkan keanehan ini cumin dikarenakan bertolak pada penilaian manusia yang memboncengi Hak Asasi Manusia. Menurut gua ini keliru yang dalam istilah KB3 (Kamus Besar Bahasa Buyung) disebut SPJ alias Salah Pilih Juri.
Kenapa salah? Karena manusia itu tempatnya salah. Membiarkan manusia yang menjadi juri, hakim, regulator adalah pilihan yang tidak bijak. Berpijak sepenuhnya pada aturan ciptaan manusia ujung-ujungnya akan berakhir bencana. Jangankan mengetahui 100% keadaan orang lain, diri sendiri saja belum tentu dikeathui 100%. Segala ketidak-sempuranaan manusia adalah bukti bahwa manusia tak layak dan tak berhak menjadi juri dalam kehidupan kita.

Juri yang sebenarnya harus kita pilih adalah Tuhan semesta alam. Yang paling adil, paling tahu, paling sempurna. Lantas bagaimana cara kita mengikuti penilaian dan aturan main sang Tuhan? Baca saja KitabNya.

Karena kitab karya Tuhan tidak mungkin salah, tidak mungkin tak lengkap, tidak mungkin cacat, tidak mungkin diganggu gugat. Bagi yang ateis atau tak percaya Tuhan, itu berarti mereka membiarkan manusia lain yang mengatur dan mengendalikan hidup mereka.

Anjuran gua, mulai sekarang pilihlah juri yang tepat jangan sampai SPJ. Karena tugas kita dalam pertandingan hidup ini adalah berlomba-lomba berbuat kebaikan. Masalah penilaian, penghakiman, peraturan, serahkan saja sama Tuhan. Biarkan Dia yang menjadi jurinya. Lantas bagemana dengan manusia? Cukup jadikan teman untuk meminta pendapat bukan meminta keputusan.

Jaa Nee~

0 komentar